Senin, 07 November 2016

PENANGGUHAN KREDIT PEMBERI GADAI DI PT PEGADAIAN TAHUN 2014

Tidak dapat dipungkiri bahwa pegadaian menjadi salah satu alternatif masyarakat Indonesia untuk mendapatkan dana tunai secara cepat, mudah dan aman. Dana tunai digunakan untuk berbagai macam kebutuhan, mulai dari pembelian keperluan pribadi sampai dengan kebutuhan permodalan untuk kegiatan ekonomi. Cepat dan mudah dalam mendapatkan dana tunai berarti dalam hal proses mendapatkan pinjaman dana tidak memerlukan proses yang berbelit-belit. Sedangkan aman berarti banyak hal, seperti perhitungan bunga yang telah ditetapkan secara nasional dan proses administrasi yang jelas sehingga tidak perlu kuatir dengan besaran bunga dan biaya administrasi.
Praktek gadai secara resmi dikendalikan oleh PT Pegadaian (Persero). Sebelum menjadi PT Pegadaian, bentuk perusahaan pegadaian adalah perusahaan umum yang kemudian dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Perubahan bentuk badan hukum pegadaian memang mengalami berbagai perubahan, mulai dari bentuk Perusahaan Jawatan (Perjan) kemudian Perusahaan Umum (Perum) dan kini menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Pasal 1 Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero)).
Pada dasarnya pegadaian sendiri memiliki pengertian sebagai suatu perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur dimana debitur menyerahkan benda bergerak kepada kreditur untuk menjamin pelunasan suatu hutang gadai, ketika debitur lalai melaksanakan prestasinya (Salim HS, 2008: 34). Selanjutnya, menurut apa yang tertulis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh kreditur, atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya, dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dan barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu sebagai gadai dan yang harus didahulukan” (Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Selanjutnya, menurut Salim HS yang menjadi unsur gadai adalah keberadaan subyek gadai, baik itu kreditur maupun debitur. Selain itu, yang menjadi unsur gadai lainnya adalah objek gadai dan juga kewenangan kreditur (Op.Cit., 2008: 35). Dalam hal ini, bertindak sebagai kreditur adalah PT pegadaian yang memberikan kredit kepada debitur dengan jaminan benda bergerak yang dimiliki kreditur.
Pemilihan pegadaian sebagai sumber untuk memperoleh dana cepat menjadi pilihan yang tepat karena tujuan umum didirikannya pegadaian ini adalah demi kemaslahatan masyarakat. Dengan adanya pegadaian diharapkan bahwa masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraannya dan juga terhindar dari gadai gelap, praktek riba dan pinjaman tidak wajar lainnya (Pasal 7 Peraturan Pemerintah nomor 103 tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian).
Sebagaimana tujuan dari adanya pegadaian adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pegadaian memberikan berbagai macam bantuan pinjaman dana dengan syarat adanya penyerahan jaminan benda bergerak dari pihak debitur atau pemberi gadai. Persyaratan yang demikian itu adalah sebagai bentuk antisipasi manakala debitur tidak melaksanakan prestasinya, sehingga barang jaminan dapat dipergunakan sebagai pelunasan atas hutang-hutang pemberi gadai. Dalam hal ini, menurut hemat penulis ada dua macam hal yang melandasi terjadinya wan prestasi dari pihak debitur. Yang pertama, debitur tidak memiliki iktikad baik untuk melunasi hutang-hutangnya. Hal yang kedua adalah tidak adanya kemampuan ekonomis untuk melakukan pelunasan terhadap hutang-hutangnya.
Pada ikhwal sebab yang kedua, tidak adanya kemampuan ekonomis debitur dapat pula disebabkan dua macam hal. Sebab yang pertama adalah karena debitur tersebut tidak memiliki pendapatan dana yang menyebabkan pada diri debitur tidak memiliki potensi untuk melunasi hutangnya. Sebagai contoh misalnya si X adalah seorang kakek yang bergantung pada anak lelakinya. Diawal musim penghujan Kakek X ini ditinggal oleh anak satu-satunya yang mengalami musibah disambar petir yang menyebabkan nyawa anaknya tidak tertolong lagi. Pada kondisi tersebut, kakek X memiliki sebuah radio tua dan kemudian bermaksud untuk menggadaikannya di PT Pegadaian. Uang pinjaman dari pegadaian tersebut ia gunakan untuk membeli payung dengan harapan bisa menjadi tukang ojeg payung. Hidup kakek X bergantung dari kerjaannya sebagai tukang ojeg payung dimusim hujan tersebut, namun penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari-harinya. Hingga akhir musim hujan kakek X belum juga dapat mengangsur hutangnya ke pegadaian, hingga pada akhirnya pegadaian memutuskan untuk melakukan pelelangan terhadap radio milik kakek X sebagai upaya untuk melunasi hutang kakek X tersebut.
Kemudian untuk sebab yang kedua, debitur memiliki potensi untuk mengangsur hutangnya ke pegadaian, namun karena sebab yang luar biasa kemampuan untuk melunasi hutang debitur terhenti untuk sementara. Sebagai contoh adalah si Y adalah seorang lelaki yang memiliki pekerjaan sebagai petani. Karena kekurangan modal, Y kemudian menggadaikan cincin kawin yang ia miliki bersama isterinya ke pegadaian dengan harapan dapat memperoleh suntikan dana segar untuk usahanya. Setelah dua kali masa kredit yang selalu ia bayarkan tepat waktu, tiba-tiba terjadi bencana alam gunung meletus sehingga dari pra letusan sampai dengan pasca letusan, Y dan keluarganya mengungsi. Pada keadaan tersebut, Y tidak bisa melakukan angsuran pembayaran utang-utangnya di pegadaian.
Pada dua contoh diatas, perbedaan mendasar adalah situasi yang melanda kedua debitur. Situasi yang pertama adalah situasi ketidakmampuan kakek X karena penghasilannya hanya cukup untuk makan sehingga hutangnya pada pegadaian tidak dapat ia lunasi. Kemudian situasi yang kedua adalah situasi ketidakmampuan Y untuk membayar hutang ke pegadaian karena adanya musibah berupa letusan gunung. Jika dikembalikan pada tujuan pegadaian untuk membantu menyejahterakan masyarakat, harusnya ada perbedaan perlakuan untuk kakek X dengan Y.
Dengan demikian, ketika hal tersebut dihubungkan dengan tujuan pendirian pegadaian yang salah satunya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat diperlukan adanya upaya sebagaimana yang dilakukan oleh lembaga keuangan bank. Upaya yang dimaksud adalah seperti dengan diundangkannya peraturan Bank Indonesia nomor : 8/15/PBI/2006 tentang Perlakuan Khusus Terhadap Kredit Bank Bagi Daerah-Daerah Tertentu di Indonesia yang Terkena Bencana Alam.
Dikeluarkannya peraturan Bank Indonesia nomor : 8/15/PBI/2006 tentang Perlakuan Khusus Terhadap Kredit Bank Bagi Daerah-Daerah Tertentu di Indonesia yang Terkena Bencana Alam tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan bahwa bencana alam yang melanda berbagai daerah di Indonesia menimbulkan dampak kerugian yang cukup signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tertentu yang terkena bencana alam, apalagi letak Indonesia yang memang berada didaerah yang rawan terkena bencana alam (pertimbangan peraturan Bank Indonesia nomor : 8/15/PBI/2006 tentang Perlakuan Khusus Terhadap Kredit Bank Bagi Daerah-Daerah Tertentu di Indonesia yang Terkena Bencana Alam).
Sebagai bagian dari lembaga keuangan, seharusnya pegadaian membuat peraturan seperti halnya yang diundangkan oleh Bank Indonesia. Dengan adanya peraturan serupa, pegadaian sebagai lembaga keuangan bukan bank dapat benar-benar merealisasikan tujuannya untuk turut serta membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menjadi harapan lainnya adalah orang-orang golongan menengah kebawah seperti halnya si B yang peneliti contohkan pada paragraf sebelumnya, tidak jatuh dan kemudian tertimpa tangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar