Tidak dapat
dipungkiri bahwa pegadaian menjadi salah satu alternatif masyarakat Indonesia
untuk mendapatkan dana tunai secara cepat, mudah dan aman. Dana tunai digunakan
untuk berbagai macam kebutuhan, mulai dari pembelian keperluan pribadi sampai
dengan kebutuhan permodalan untuk kegiatan ekonomi. Cepat dan mudah dalam
mendapatkan dana tunai berarti dalam hal proses mendapatkan pinjaman dana tidak
memerlukan proses yang berbelit-belit. Sedangkan aman berarti banyak hal,
seperti perhitungan bunga yang telah ditetapkan secara nasional dan proses
administrasi yang jelas sehingga tidak perlu kuatir dengan besaran bunga dan
biaya administrasi.
Praktek gadai
secara resmi dikendalikan oleh PT Pegadaian (Persero). Sebelum menjadi PT
Pegadaian, bentuk perusahaan pegadaian adalah perusahaan umum yang kemudian
dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2011 tentang
Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian Menjadi Perusahaan
Perseroan (Persero). Perubahan bentuk badan hukum pegadaian memang mengalami
berbagai perubahan, mulai dari bentuk Perusahaan Jawatan (Perjan) kemudian
Perusahaan Umum (Perum) dan kini menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Pasal
1 Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum
Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero)).
Pada dasarnya
pegadaian sendiri memiliki pengertian sebagai suatu perjanjian yang dibuat
antara kreditur dengan debitur dimana debitur menyerahkan benda bergerak kepada
kreditur untuk menjamin pelunasan suatu hutang gadai, ketika debitur lalai
melaksanakan prestasinya (Salim HS, 2008: 34). Selanjutnya, menurut apa yang
tertulis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur
atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh kreditur, atau oleh
kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya, dan yang memberi wewenang kepada
kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dan barang itu dengan mendahului
kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan
putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya
penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu sebagai gadai dan
yang harus didahulukan” (Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Selanjutnya,
menurut Salim HS yang menjadi unsur gadai adalah keberadaan subyek gadai, baik
itu kreditur maupun debitur. Selain itu, yang menjadi unsur gadai lainnya
adalah objek gadai dan juga kewenangan kreditur (Op.Cit., 2008: 35). Dalam hal
ini, bertindak sebagai kreditur adalah PT pegadaian yang memberikan kredit
kepada debitur dengan jaminan benda bergerak yang dimiliki kreditur.
Pemilihan
pegadaian sebagai sumber untuk memperoleh dana cepat menjadi pilihan yang tepat
karena tujuan umum didirikannya pegadaian ini adalah demi kemaslahatan
masyarakat. Dengan adanya pegadaian diharapkan bahwa masyarakat dapat
meningkatkan kesejahteraannya dan juga terhindar dari gadai gelap, praktek riba
dan pinjaman tidak wajar lainnya (Pasal 7 Peraturan Pemerintah nomor 103 tahun
2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian).
Sebagaimana
tujuan dari adanya pegadaian adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, pegadaian memberikan berbagai macam bantuan pinjaman dana dengan
syarat adanya penyerahan jaminan benda bergerak dari pihak debitur atau pemberi
gadai. Persyaratan yang demikian itu adalah sebagai bentuk antisipasi manakala
debitur tidak melaksanakan prestasinya, sehingga barang jaminan dapat
dipergunakan sebagai pelunasan atas hutang-hutang pemberi gadai. Dalam hal ini,
menurut hemat penulis ada dua macam hal yang melandasi terjadinya wan prestasi
dari pihak debitur. Yang pertama, debitur tidak memiliki iktikad baik untuk
melunasi hutang-hutangnya. Hal yang kedua adalah tidak adanya kemampuan
ekonomis untuk melakukan pelunasan terhadap hutang-hutangnya.
Pada ikhwal
sebab yang kedua, tidak adanya kemampuan ekonomis debitur dapat pula disebabkan
dua macam hal. Sebab yang pertama adalah karena debitur tersebut tidak memiliki
pendapatan dana yang menyebabkan pada diri debitur tidak memiliki potensi untuk
melunasi hutangnya. Sebagai contoh misalnya si X adalah seorang kakek yang
bergantung pada anak lelakinya. Diawal musim penghujan Kakek X ini ditinggal
oleh anak satu-satunya yang mengalami musibah disambar petir yang menyebabkan
nyawa anaknya tidak tertolong lagi. Pada kondisi tersebut, kakek X memiliki
sebuah radio tua dan kemudian bermaksud untuk menggadaikannya di PT Pegadaian.
Uang pinjaman dari pegadaian tersebut ia gunakan untuk membeli payung dengan
harapan bisa menjadi tukang ojeg payung. Hidup kakek X bergantung dari
kerjaannya sebagai tukang ojeg payung dimusim hujan tersebut, namun
penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari-harinya. Hingga akhir
musim hujan kakek X belum juga dapat mengangsur hutangnya ke pegadaian, hingga
pada akhirnya pegadaian memutuskan untuk melakukan pelelangan terhadap radio
milik kakek X sebagai upaya untuk melunasi hutang kakek X tersebut.
Kemudian
untuk sebab yang kedua, debitur memiliki potensi untuk mengangsur hutangnya ke
pegadaian, namun karena sebab yang luar biasa kemampuan untuk melunasi hutang
debitur terhenti untuk sementara. Sebagai contoh adalah si Y adalah seorang
lelaki yang memiliki pekerjaan sebagai petani. Karena kekurangan modal, Y
kemudian menggadaikan cincin kawin yang ia miliki bersama isterinya ke
pegadaian dengan harapan dapat memperoleh suntikan dana segar untuk usahanya.
Setelah dua kali masa kredit yang selalu ia bayarkan tepat waktu, tiba-tiba
terjadi bencana alam gunung meletus sehingga dari pra letusan sampai dengan
pasca letusan, Y dan keluarganya mengungsi. Pada keadaan tersebut, Y tidak bisa
melakukan angsuran pembayaran utang-utangnya di pegadaian.
Pada dua contoh
diatas, perbedaan mendasar adalah situasi yang melanda kedua debitur. Situasi
yang pertama adalah situasi ketidakmampuan kakek X karena penghasilannya hanya
cukup untuk makan sehingga hutangnya pada pegadaian tidak dapat ia lunasi.
Kemudian situasi yang kedua adalah situasi ketidakmampuan Y untuk membayar
hutang ke pegadaian karena adanya musibah berupa letusan gunung. Jika
dikembalikan pada tujuan pegadaian untuk membantu menyejahterakan masyarakat,
harusnya ada perbedaan perlakuan untuk kakek X dengan Y.
Dengan
demikian, ketika hal tersebut dihubungkan dengan tujuan pendirian pegadaian
yang salah satunya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat diperlukan
adanya upaya sebagaimana yang dilakukan oleh lembaga keuangan bank. Upaya yang
dimaksud adalah seperti dengan diundangkannya peraturan Bank Indonesia nomor :
8/15/PBI/2006 tentang Perlakuan Khusus Terhadap Kredit Bank Bagi Daerah-Daerah
Tertentu di Indonesia yang Terkena Bencana Alam.
Dikeluarkannya
peraturan Bank Indonesia nomor : 8/15/PBI/2006 tentang Perlakuan Khusus
Terhadap Kredit Bank Bagi Daerah-Daerah Tertentu di Indonesia yang Terkena
Bencana Alam tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan bahwa bencana alam
yang melanda berbagai daerah di Indonesia menimbulkan dampak kerugian yang cukup
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tertentu yang terkena
bencana alam, apalagi letak Indonesia yang memang berada didaerah yang rawan
terkena bencana alam (pertimbangan peraturan Bank Indonesia nomor :
8/15/PBI/2006 tentang Perlakuan Khusus Terhadap Kredit Bank Bagi Daerah-Daerah
Tertentu di Indonesia yang Terkena Bencana Alam).
Sebagai bagian dari lembaga keuangan, seharusnya pegadaian membuat
peraturan seperti halnya yang diundangkan oleh Bank Indonesia. Dengan adanya
peraturan serupa, pegadaian sebagai lembaga keuangan bukan bank dapat
benar-benar merealisasikan tujuannya untuk turut serta membantu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Menjadi harapan lainnya adalah orang-orang golongan
menengah kebawah seperti halnya si B yang peneliti contohkan pada paragraf
sebelumnya, tidak jatuh dan kemudian tertimpa tangga.